MAKALAH
POLIGAMI
DAN POLI ANDRI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kegiatan pondok
Romadhon
Di Susun Oleh Kelompok 5:
1. Faizatur rohmah
2. Habibatus Sholihah
3. Ike Rizqiana Febrianti
4. Imroatus Sholihah
5. Khoirur Rohmah
6. Kuny Rizqi Faidah
7. Nur Halimah
8. Nurul Azizah
9. Nilna Rizqa Faidah
10. Siti Wimroatus Sholihah
Kegiatan Pondok Romadhon
Madrasah Aliyah Wahid Hasyim
Di Masjid Nurul Huda Balung Kulon
Tahun Ajaran 2011-2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “POLIGAMI
dan POLIANDRI” sesuai dengan waktu yang telah di tetapkan. Pembuatan makalah
ini adalah salah satu syarat yang di ajukan untuk melengkapi penyelesaian safari Pondok Romadhon tahun 2011-2012.
Pembuatan makalah ini
dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan dari pihak-pihak terkait. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penyelesaian makalah ini dengan baik
Penulis
menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca Harapan penulis semoga
Semoga makalah yang memuat pengetahuan mengenai POLIGAMI dan POLIANDRIini, dapat
bermanfaat bagi siswa/siswi Ma. Wahid Hasyim
Balung.
Jember, 29 Juli 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..................................................................................... 1
KATA PENGANTAR................................................................................... 2
DAFTAR ISI................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A.
1.1 Latar
Belakang.............................................................. 4
B.
1.2 Rumusan
Masalah......................................................... 4
C.
1.3 Tujuan Penulisan makalah............................................ 4
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................ 5
A.
II.1 POLIGAMI................................................................... 5
B.
II.2 Syarat – Syarat POLIGAMI.......................................... 5
C.
II.3 POLIANDRI................................................................. 10
D.
II.4 Larangan POLIANDRI................................................. 12
E.
II.5 Wanita- Wanita yang dilarang
untuk didekati............... 12
F.
II.6 Hikmah Larangan POLIGAMI dan
POLIANDRI.......... 13
BAB III PENUTUP................................................................................. 16
A.
Kesimpulan......................................................................... 16
B.
Saran................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 17
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Poligami atau pernikahan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang
sangat ditakuti oleh setiap wanita. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi
peraturan secara ketat akan
menimbulkan hal-hal negatif dalam menegakkan rumah
tangga. Biasanya hubungan dengan
istri muda menjadi tegang, anak-anak yang berlainan ibu menjurus pada
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Hal ini bisa terjadi jika
sang ayah meninggal dunia.
Agar hal ini tidak terjadi, maka Undang-Undang membatasi secara ketat
dengan alasan –alasan dan syarat-yarat tertentu. Undang-Undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan
yang dilaksanakan itu betul-betul bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya,
dan tidak ada yang merugikan ataupun yang dirugikan.
1.2
Rumusan Masalah
·
Pengertian Poligami
·
Syarat-syarat
poligami dalam islam
·
Hikmah
Poligami
·
Pengertian
Poliandri
·
Larangan
poliandri
·
Wanita-wanita
yang dilarang untuk didekati
·
Pembatalan
nikah poliandri
·
Hikmah
larangan poliandri
·
Hikmah
poliandri
1.3
Tujuan penulisan
·
Menguasai
materi tentang poligami dan Poliandri
·
Mengetahui
tentang dasar hukum poligami dan Poliandri
·
Menjadi
warga Negara Indonesia yang baik
BAB II
PEMBAHASAN
1. POLIGAMI
1.1 Pengertian Poligami
Dalam antropologi
sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami
atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada
suatu saat . (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu
suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu
poligami (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus),
poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus),
dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi
poligami dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam
sejarah, namum poligami merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun
diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian
kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligami, karena mereka
menganggap poligami sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. 1
Islam pada
dasarnya memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Dan
islam juga memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan
syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya. Poligami
dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di
tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri
terdapat hukum yang memperketat aturan poligami untuk pegawai negeri, dan
sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia
adalah merupakan contoh negara arab dimana poligini tidak
diperbolehkan.
1.2 SYARAT-SYARAT
POLIGAMI DALAM ISLAM
- Membatasi jumlah isteri yang akan
dikawininya.
Syarat
ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya;
"Maka berkawinlah
dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga
atau empat." (QS. Annisa’ ayat 3)
Ayat
di atas menerangkan dengan jelas bahawa Allah telah menetapkan seseorang itu
untuk berkawin tidak boleh lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi
kalau tidak beristeri satu, boleh dua, tiga atau empat saja.
Pembatasan
ini juga bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak
berbuat sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri,
diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula
wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang
isteri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan
lebih dari empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperoleh isteri.
- Diharamkan bagi suami mengumpulkan
wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya.
Misalnya,
menikah dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan ibu saudara
baik sebelah ayah maupun ibu. Tujuan pengharaman ini ialah untuk menjaga
silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah SAW bersabda, yang
berarti bahwa : "Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian itu,
akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu." (Hadis
riwayat Bukhari & Muslim)
- Berlaku adil,
sebagaimana
yang difirmankan Allah (SWT);
"Kemudian jika kamu bimbang
tidak dapat berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah
dengan) seorang sahaja, atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah)
supaya kamu tidak melakukan kezaliman." (QS An-nisa’ ayat 3)
Dengan
tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan
berpoligami. Maka andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat
orang isteri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak
dapat adil, cukuplah dua saja. Dan kalau dua itu pun masih khawatir tidak boleh
berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja.
Para
mufassirin berpendapat bahawa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah
berarti hanya adil terhadap para isteri saja, tetapi mengandungi arti berlaku
adil secara mutlak. Oleh karena itu seorang suami hendaklah berlaku adil dalam
hal sebagai berikut:
v Berlaku
adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja
mencari rezeki, sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri.
Apabila dia tetap berpoligami, ini berarti dia telah menganiayai dirinya
sendiri. Sikap yang demikian adalah tidak adil.
v Adil
di antara para isteri.
Setiap isteri berhak mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa
kemesraan hubungan jiwa, nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan
perkara lain-lain nya yang diwajibkan Allah kepada suami.
Adil di antara
isteri-isteri ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah dalam alqur’an pada
surat an-nisa’ ayat 3 dan juga sunnah Rasul. Rasulullah SAW bersabda, yang berarti
bahwasanya : "Barangsiapa yang mempunyai dua isteri, lalu dia cenderung
kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil antara mereka berdua,
maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring
hampir jatuh sebelah." (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal)
v Adil
memberikan nafkah.
Dalam soal adil memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi
nafkah dari salah seorang isterinya dengan alasan bahawa si isteri itu kaya
atau ada sumber kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela. Suami memang
boleh menganjurkan isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa
paksaan. Memberi nafkah yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya
diperbolehkan dengan sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit
dan memerlukan biaya rawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama
atau isteri baru, isteri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau
yang tidak cantik, yang berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau
miskin, yang sakit atau yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan.
Kesemuanya mempunyai hak yang sama sebagai isteri.
v Adil
dalam menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama telah sepakat mengatakan bahawa suami bertanggungjawab
menyediakan tempat tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri berserta
anak-anaknya sesuai dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk
menjaga kesejahteraan isteri-isteri, jangan sampai timbul rasa cemburu atau
pertengkaran yang tidak diingini.
v Adil
dalam giliran.
Demikian juga, isteri berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya
sama lamanya dengan waktu menginap di rumah isteri-isteri yang lain.
Sekurang-kurangnya si suami mesti menginap di rumah seorang isteri satu malam
suntuk tidak boleh kurang.
Begitu
juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam
keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan
perkawinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan 'hubungan seks'
dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk menyempumakan
kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu sendiri. Hal ini
diterangkan Allah dengan firman-Nya;
"Dan di antara
tanda-tanda yang membuktikan kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahawa la
menciptakan untuk kamu (wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu
sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan
dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas
kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi keterangan-keterangan (yang
menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang berfikir." (QS. Ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak
bersikap adil kepada isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima siksaan
dari Allah SWT pada hari kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan
pinggangnya miring. Hal ini akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak
Nabi Adam sampai ke anak cucunya.
Firman Allah (SWT) dalam
Surah az-Zalzalah ayat 7 hingga 8;
"Maka sesiapa
berbuat kebajikan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat
amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya
(dalam surat amalnya)."
v Anak-anak
juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih
sayang yang adil dari seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan agar setiap suami yang berpoligami tidak membeza-bezakan
antara anak si anu dengan anak si anu. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak
mestilah diperhatikan bahawa nafkah anak yang masih kecil berbeza dengan anak
yang sudah besar. Anak-anak perempuan berbeza pula dengan anak-anak lelaki.
Tidak kira dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang
serta perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka
diterlantarkan kerana kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta
anak-anaknya sahaja.
Keadilan juga sangat
dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang
yang dapat merusakkan rumah tangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat
memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan
rasa dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau
diperhatikan tuntutan syara’ dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri,
nyatalah bahawa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan
itu dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam
hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadap isteri-isteri, adalah satu
tanggungjawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang
berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal kasih
sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak
berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semula jadi manusia.
Hal ini sesuai dengan
apa yang telah difirmankan Allah dalam Alqur’an surat An-nisa’ ayat 129 yang
berarti;
"Dan kamu tidak
sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu sekalipun
kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah kamu
cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu
sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung
(di awang-awang)."
Selanjutnya Siti 'Aisyah
(r.a.) menerangkan, bahwa;
Rasulullah SAW selalu berlaku adil dalam
mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam
doanya: "Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam
milikku. Ya Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi
milikku dan apa yang bukan milikku."
2. POLIANDRI
2.1 Pengertian
Poliandri.
Poliandri yaitu sistem perkawinan yang
membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang di waktu yang
bersamaan. Islam melarang
tegas bentuk perkawinan poliandri. 2 ALLAH SWT berfirman “ Dan
diharamkan juga kamu (para laki-laki) mengawini wanita-wanita yang bersuami
.....................” (QS. An-Nisa’, 24). 3 Sementara dalam
undang-umdang nomor 1 tahun 1974 , terdapat pula larangan poliandri yang
tercantum dalam pasal 3 ayat 1yang menentukan bahwa pada asasnya seorang wanita
harus hanya boleh memiliki seorang suami. Larangan ini bersifat mutlak mutlak,
karena tidak ada alasan –alasan lain yang ditentukan dalam undang-undang
perkawinan ini yang memboleh kan poliandri. 4
Sejauh ini penulis baru menemukan satu ayat al-Qur’an yang secara
tegas melarang poliandri.
Surat An-Nisa’ Ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا.
Sabab al-Nuzul
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ أَصَابُوا سَبْيًا يَوْمَ أَوْطَاسَ لَهُنَّ أَزْوَاجٌ فَتَخَوَّفُوا فَأُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ : وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ يَوْمَ حُنَيْنٍ بَعْثًا إِلَى أَوْطَاسَ فَلَقُوا عَدُوَّهُمْ فَقَاتَلُوهُمْ فَظَهَرُوا عَلَيْهِمْ وَأَصَابُوا لَهُمْ سَبَايَا فَكَأَنَّ أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَرَّجُوا مِنْ غِشْيَانِهِنَّ مِنْ أَجْلِ أَزْوَاجِهِنَّ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
أَيْ فَهُنَّ لَهُمْ حَلَالٌ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهُنَّ
Sabab nuzul di atas menegaskan dilarangnya menikahi wanita yang
telah bersuami. Larangan itu memperoleh pengecualian bagi wanita yang menjadi
budak. Namun demikian, menikahi wanita budak yang telah bersuami itu
diperbolehkan setelah berlalunya masa iddah. Dari sini bisa dipahami bahwa
wanita, baik ia sebagai wanita merdeka maupun sebagai budak, tidak
diperkenankan memiliki suami lebih dari satu orang, atau yang disebut dengan
poliandri.
Dalam bidang hokum Musthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip
oleh Jaih Mubarak menyebutkan bahwa bangsa arab pra islam menjadikan adab
sebagai hokum dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam
perkawinan. Diantaranya:
1.
Istibda’ yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk
berjima’ dengan laki-laki lainyang dipandang mulia atau memiliki kelebihan
tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri “ bergaul” dengan
laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjima’ dengan istrinya
sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Tujuan perkawinan seperti ini adalah
agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki laki-laki yang
menyetubuhinya, yang tidak dimiliki oleh suaminya.
2.
Poliandri , yaitu beberapa laki-laki berjima’ dengan seorang
perempuan. Setelah hamil melahirkan
anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya
untuk berkumpul dirumahnya. Setelah semua hadir, perempuan itu memberitahukan
bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka, lalu menunjuk
salah satu dari mereka yang pernah menyetubuhinya menjadi bapak dari yang
dilahirkannya. Laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolaknya.
3.
Maqthu’, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah
bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, ia
melemparkan kain kepada ibunya, sebagai tanda bahwa ia menginginkannya,
sementara ibu tirinya tidak boleh untuk menolaknya. Jika anak tersebut masih
kecil, ibu tiri diharuskan menunggu istri atau tidak.
4.
Badal, yaitu tukar menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu
dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5.
Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara
perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.(Musthafa Sa’id Al-Khinn,
1984:18-19).
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip
pendapat Abdur Rahim dalam buku Kasf Al-Gumma, menjelaskan beberapa perkawinan
lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya islam, sebagai berikut:
1.
Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh islam, yakni seorang
meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan
bayaran tertentu(mirip kawin kontrak)
2.
Prostitusi, sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para pendatang(tamu)
ditenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda memenggil. Jika
wanitanya hamil, ia akan memilih diantara laki-laki yang mengencaninya sebagai
bapak-bapak dari anak yang dikandung.
3.
Bentuknya semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan
waktunya dan syaratnya. Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis
berdasarkan syarat yang ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan,
perkawinan semacam ini haram hanyaa saja Syi’ah Istna Ashari yang masih
menghalalkannya.
2.2 Larangan Poliandri
Ayat ke-24 di atas melarang seorang laki-laki menikahi wanita yang telah
bersuami. Dengan demikian, ayat itu menutup kemungkinan berlakunya perkawinan
poliandri dalam Islam. Atau, dilihat dari sudut pandang perempuan, ini
berarti larangan kawin poliandri atau bersuami lebih dari satu.
2.3
Wanita-wanita Yang Dilarang untuk Didekati
Ada beberapa keadaan dimana seorang wanita tidak boleh dipinang,
apalagi dinikahi, yaitu:
a. Wanita yang telah bersuami
Wanita yang telah bersuami tidak
boleh dipinang, meskipun dengan syarat akan dinikahi pada waktu dia telah boleh
dikawini. Seperti, “Bila kamu dicerai oleh suamimu saya akan mengawini kamu.”
Atau dengan bahasa sindiran, “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan
melindungimu.”
b. Wanita
yang sedang menjalani iddah raj‘i
Wanita yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‘i sama
keadaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidakbolehannya
untuk dipinang, baik dengan bahasa terus-terang atau bahasa sindiran. Alasannya
bahwa perempuan dalam iddah talak raj‘i statusnya sama dengan perempuan yang
sedang terikat dalam perkawinan.
c. Wanita
yang dalam iddah karena kematian suaminya
Wanita yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya tidak boleh
dipinang dengan menggunakan bahasa terus-terang, namun dibolehkan meminangnya
dengan bahasa sindiran.
d. Wanita
yang telah dipinang orang lain
Wanita yang telah dipinang oleh
orang lain tidak boleh dipinang. Hal ini dijelaskan oleh Nabi Saw.:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ .
.
2.4 Pembatalan Nikah Poliandri
Apabila seorang wanita mempraktekkan poliandri, maka Pengadilan
Agama dapat membatalkannya. Namun demikian, batalnya suatu perkawinan tidak
memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
HIKMAH POLIGAMI DAN POLIANDRI
1.
Hikmah Poligami dalam Islam
Islam membolehkan umatnya berpoligami bukanlah tanpa alasan atau
tujuan tertentu. Keharusan berpoligami ini mempunyai hikmah-hikmah untuk
kepentingan serta kesejahteraan umat Islam itu sendiri. Di antaranya ialah;
- Bahawa wanita itu mempunyai tiga halangan
yaitu haid, nifas dan keadaan yang belum betul-betul sehat selepas
melahirkan. Jadi, dalam keadaan begini, Islam mengharuskan berpoligami
sampai empat orang isteri dengan tujuan kalau tiap-tiap isteri ada yang
haid, ada yang nifas dan ada pula yang masih sakit sehabis nifas, maka
masih ada satu lagi yang bebas. Dengan demikian dapatlah menyelamatkan
suami daripada terjerumus ke jurang perzinaan pada saat-saat isteri
berhalangan
- Untuk mendapatkan keturunan kerana isteri
mandul tidak dapat melahirkan anak. Atau kerana isteri sudah terlalu tua
dan sudah putus haidnya. Dalam pemilihan bakal isteri, Islam menyukai
wanita yang dapat melahirkan keturunan daripada yang mandul, walaupun
sifat-sifat jasmaniahnya lebih menarik. Ini dijelaskan oleh Rasulullah
dengan sabdanya yang bermaksud, "Perempuan hitam yang mempunyai benih
lebih baik dari wanita-wanita cantik yang mandul."
- Bahwa kaum lelaki itu mempunyai daya
kemampuan seks yang berbeda-beda. Andaikan suami mempunyai daya seks yang
luar biasa, sedangkan isteri tidak dapat mengimbanginya atau sakit dan
masa haidnya terlalu lama, maka poligami adalah langkah terbaik untuk
memelihara serta menyelamatkan suami dari jatuh ke lembah perzinaan.
- Dengan poligami diharapkan agar dapat
terhindar dari terjadinya perceraian karena isteri mandul, sakit atau
sudah terlalu tua.
- Akibat peperangan yang biasanya melibatkan
kaum lelaki, maka jumlah wanita akan lebih banyak baik mereka itu masih
gadis maupun janda.Dengan adanya poligami diharapkan janda-janda akibat
peperangan itu dapat diselamatkan serta diberi perlindungan yang sempurna.
Begitu juga untuk menghindari banyaknya jumlah gadis-gadis tua yang tidak
dapat merasakan hidup berumahtangga dan berkeluarga.
- Karena banyaknya kaum lelaki yang
berhijrah pergi merantau untuk mencari rezeki. Di perantauan, mereka
mungkin kesepian baik ketika sehat maupun sakit. Maka dalam saat-saat
begini lebih baik berpoligami daripada si suami mengadakan hubungan secara
tidak sah dengan wanita lain.
- Untuk memberi perlindungan dan
penghormatan kepada kaum wanita dari keganasan serta kebuasan nafsu kaum
lelaki yang tidak dapat menahannya. Andaikan poligami tidak diperbolehkan,
kaum lelaki akan menggunakan wanita sebagai alat untuk kesenangannya
semata-mata tanpa dibebani satu tanggungjawab. Akibatnya kaum wanita akan
menjadi simpanan atau pelacur yang tidak dilayani sebagai isteri serta
tidak pula mendapatkan hak perlindungan untuk dirinya.
2.
Hikmah Larangan Poliandri
Hikmah utama dalam hal ini adalah untuk menjaga kemurnian
keturunan dan kepastian hukum seorang anak. Anak yang sejak berada dalam
kandungan telah memiliki hak, harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Wallahu a’lam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya bentuk perkawinan poligami itu
diperbolehkan dalam agama islam, demikian juga Undang – Undang perkawinan di
Indonesia juga melegalkannya dengan syarat-syarat dan prosedur yang ada di
Indonesia. Poligami juga memiliki sisi negatif yang sering dilontarkan oleh
orang – orang yang menentangnya, namun dibalik itu sebenarnya banyak hikmah
dari berpoligami yang tidak disadari oleh kebanyakan manusia.
Sedangkan poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan
yang benar-benar di larang oleh agama islam. Karena, jika ada seorang perempuan
yang menikah dengan seorang lelaki lebih dari satu orang atau lebih, niscaya
dunia akan rusak, keturunan akan terlantarkan, antara satu suami dengan suami
yang lainnya akan saling berebut untuk menghindar dari kewajibannya, membunuh,
bencana merajalela, dan api peperangan akan terys menyala. Bagaimana mungkin
urusan seorang wanita bisa stabil apabila dia dimiliki orang banyak dan
bagaimana mungkin mereka (laki-laki) akan bisa bersama satu perempuann ??.5Oleh
sebab itu, bentuk pernikahan poliandri
sangat lah ditentang oleh banyak kalangan, begitu juga Allah dan Rosulullah
SAW.
3.2 Kritik dan Saran
Banyak sekali orang menentang adanya poligami, namun
mereka justru sebenarnya tidak puas dengan satu istri yang akhirnya mereka
melakukan perzinahan yang dilarang agama. Tidak perlu menentang poligami, masih
banyak perempuan – perempuan malang terlantar. Kalau bisa memenuhi
persyaratan-persyaratan dan prosedur poligami baik dalam hukum Negara ataupun
Hukum agama, kenapa tidak ??
Dan sebaik-baik istri yang bisa menjaga rumah tangganya,
pastinya dia tidak akan pernah melakukan poliandri dikarenakan suatu alasan
tertentu ataupun tidak ada kecocokan dalam mengaruni hidupnya bersama suaminya.
Daripada harus melakukan poliandri yang merupakan pernikahan yang sudah
jelas-jelas nya Allah dan Rosululloh membencinya . termasuk juga Undang-Undang
Negara Indonesia juga melarangnya.
Tim
Penyusun
Kelompok 5
Rangkuman Makalah
POLIGAMI
DAN POLIANDRI
Kelompok
v
1.1
POLIGAMI
Poligami atau
pernikahan lebih dari satu orang merpakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh
setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi peraturan secara ketat,
akan menimbulkan hal-hal negatif dalam
menegakkan rumah tangga. Biasanya
hubungan dengan istri muda menjadi tegang, anak-anak yang berlainan ibu,
menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Hal ini
bisa terjadi jika sang ayah meninggal dunia.
Maka
dari itu, agar hal tersebut terjadi, undang-undang membatasi secara ketat
poligami dengan alasan dan syarat-syarat tertentu. Dan UU tersebut memberi
harapan kepada perkawinan yang dilakaukan pasangan suami istri itu betul-betul
membawa manfaat bagi mereka. Bukannya menimbulkan hal-hal negatif yang bisa
merusakk rumahtangga mereka.
1.2
POLIANDRI
Poliandri
adalah bentuk perkawinan yang memperbolehkan seorang wanita bersuamikan lebih
dari satu. Sejarah mencatat, praktek poliandri biasanya dilakukan oleh
wanita-wanita perkasa yang menjadi pemimpin komunitas dan diwujudkaan dalam
bentuk perbudakan dimana beberapa orang laki-laki harus melayani keinginan sang
ratu.
Islam melarang
tegas bentuk perkawinan poliandri. ALLAH SWT berfirman “ Dan diharamkan juga
kamu (para laki-laki) mengawini wanita-wanita yang bersuami
.....................” (QS. An-Nisa’, 24). Sementara dalam undang-umdang
nomor 1 tahun 1974 , terdapat pula larangan poliandri yang tercantum dalam
pasal 3 ayat 1yang menentukan bahwa pada asasnya seorang wanita harus hanya
boleh memiliki seorang suami. Larangan ini bersifat mutlak mutlak, karena tidak
ada alasan –alasan lain yang ditentukan dalam undang-undang perkawinan ini yang
memboleh kan poliandri.
Oleh sebab itu
Allah berfirman dalam surat an-nisa’ Ayat ke-24, dan menjelaskannya bahwa Allah melarang seorang laki-laki
menikahi wanita yang telah bersuami. Dengan.
demikian ayat itu menutup kemungkinan berlakunya perkawinan poliandri dalam
Islam. Atau, dilihat dari sudut pandang perempuan, ini berarti larangan
kawin poliandri atau bersuami lebih dari satu.
DAFTAR PUSTAKA
-
Lajnah min Ulama’ al-Azhar, Kairo, Hikmat
al-Tasyri’ wa falsafatuh, Terjemahan OMIM-ATM PP.Sidogiri, 2004.
-
Tutik, Titik Triwulan,. Trianto., Poligami Perpektif
Perikatan Nikah, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2007.
-
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2011/01/Pengertian-Poligami.html
-
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah membaca dan berkunjung kemari.
Salam kenal, jangan lupa tinggalkan komentar kalian ya, supaya bisa berkunjung balik. Hhee. ^_^