Bismillaahirrohmaanirrohim
Halo sobats, alhamdulillah sudah sampai di hari kelima challenge #NgeblogAsyikBarengKEB dengan tema “Menulis untuk Menjaga Kesehatan Mental Bagi Perempuan”. Merupakan tema yang sudah saya nantikan untuk dapat bercerita banyak hal. Terlebih istilah mental health atau kesehatan mental belakangan ini cukup sangat ramai menjadi perbincangan di berbagai lini masa. Apalagi berkaitan dengan persoalan hidup.
Flashback Sebelum Mengenal Mental Health
ketika masih sekolah tidak memedulikan mental health |
Beruntung banget dan saya juga masih ingat, di malam hari persiapan sebelum menaiki kendaraan bis yang akan membawa kami untuk melalui perjalanan ke Malang itu, saya bawa buku tulis serta pena. Di bangku kosong yang di sekitar banyak teman-teman yang sedang mengobrol, saya menuliskan apa yang tengah saya rasakan. Kekhawatiran terhadap orangtua, mas crush, hingga kelancaran perjalanan untuk berwisata. Begitu saya tutup buku. Rasa cemas sedikit berkurang. Alhamdulillah saat itu saya cukup menikmati wisata lepas pisah kelas XIII MA. Bisa dilihat dari foto ini. Entah saya mabuk atau tidak. Tap sepertinya tidak mabuk perjalanan deh. Ahhaa.
alhamdulillah tetap happy |
Berlanjut dengan fase kehidupan berikutnya. Lulus sekolah diberi dua pilihan. Melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya atau bekerja. “Kalau bisa pilih dua-duanya mengapa tidak?”. Tapi sayangnya dulu saya tidak diberi kesempatan akan hal itu. Ya, sedih, nangis, marah, cemburu sama teman kelas yang berhasil lolos kuliah? Ada banget perasaan itu, bahkan bikin saya trauma setiap kali ada tes SBMPTN, lalu kebawa masa-masa dulu.
Namun lagi-lagi buku menjadi pelampiasan perasaan yang tengah dirasakan. Sebab!!! Saat bercerita langsung ke orang lain atau anggota keluarga, belum tentu mereka akan paham (menurut saya pribadi kala itu). Atau justru memberikan nasihat. Padahal sebenarnya saya hanya butuh didengarkan. Karena saya pikir tidak ada tempat untuk itu, jadilah sajadah dan buku tulis jadi incaran saya menuangkan segala hal.
Pelampiasan Tertunda Kuliah dengan Drama di Dunia Kerja
salahsatu teman kerja yang banyak membuat saya menulis |
Kembali lagi, dulu saya tidak mengenal mental health ya sobats.
Sehingga, tatkala saya ada masalah dengan teman bekerja karena perselisihan atau kesalahpahaman di tempat kerja, itu sangat mengganggu hubungan kami. Apalagi masih satu tim. Apalagi tidak boleh menampakkan wajah judes atau tidak enak dilihat ketika melayani pembeli. Karena saya dulu bekerja di home industri dan juga melayani pembelian produk begitu. Jadi selain desain buku, saya juga berinteraksi dengan pelanggan.
Nah, tahu tidak. Dulu karena saya masih belum bisa move on untuk tetap kuliah. Tatkala saya sudah diterima menjadi karyawan namun masih jadi training. Saya sempat izin untuk mengikuti tes SBMTN tanpa memberitahukan tujuan utama kepada pimpinan. Ujung-ujungnya tetap tidak lolos. Tapi alhamdulillah bisa keluar seharian itu bareng teman yang juga berjuang untuk bisa tetap kuliah.
Sehingga saat di tempat kerja yaudah nikmati saja drama yang ada di sana. Begitu. Bahkan saya berpikir, ketika ada satu masalah tanpa ada penyelesaian saya sudah berhasil melewati ujian dalam bekerja. Bukan tidak mungkin besok terjadi hal yang serupa. Namun hal ini saya jadikan motivasi yang bertujuan untuk membentuk pribadiku jadi lebih baik lagi kedepannya. Seperti salahsatu story saya saat itu yang kebetulan masih saya simpan.
Fase Pernikahan Menjadi Gerbang Kehidupan Sesungguhnya
Hahaha, jika ingat awal-awal menikah saya sangat sering menulis di catatan gawai saya loh. berharap suami membaca. Nyatanya dia juga tidak tahu jika saya tidak memberitahukannya untuk membaca. Pernah ada sebuah tragedi saya meminta suami untuk membaca catatan di gawai, begitu esok pagi, dia menjelaskan segalanya terkait keresahan saya dalam tulisan itu.
Bahkan sampai sekarang jika ada hal yang mengganjal dan saya tidak mau bercerita ke siapa-siapa untuk saat itu, termasuk suami. Tentu catatan menjadi pelampiasan. Hal ini cukup sangat melegakan, dan saya siap untuk menghadapi dunia kembali. Seperti mendapat pelecut semangat begitu selesai menulis.
Menulis Menjadi Katarsis untuk Kesehatan Mental Perempuan
senam jari dengan mengeluarkan apa yang ada di pikiran dalam bentuk tulisan |
Dari situ saya kembali flashback jika awal mula saya menekuni blog juga karena pelampiasan atas keresahan jalan hidup. Berharap dengan menulis di blog, orang sekitar tidak mengetahui. Namun ternyata, dari blog saya bisa mengurai segala hal yang ingin saya tuangkan. Bonus mendapat relasi pertemanan dari para blogger.
Buatku menulis itu bener2 bisa melegakan hati dan pikiran. Dulu mulai nulis di diary pas SD Krn memang aku kesepian. Tapi ntah kenapa kok berasa makin plong abis curhat gitu. Akhirnya keterusan mba.. sampe skr mulai nulis ttg pengalaman. Yg isinya curhat sih masih, tapi aku private ga mau utk publik.
BalasHapusSkr ini tiap ngerasa jenuh, stress, trus mulai menulis,pelan2 kayaknya mood jadi membaik. Legaan gitu.
Kalo disuruh milih ttp nulis di blog tapi medsos di tutup, atau aktif di medsos blog tutup, aku bakal pilih aktif di blog. Lebih rela medsos tutup drpd blog 😅. Medsos itu justru suka bikin aku insecure, makanya aku rutin detoks tiap bbrpa bulan. Tapi blog ga.. sebaliknya, blog justru bikin ngerasa happy di saat hari lagi ga baik2 aja.